Sunday, December 19, 2004

Ratih dan Kamajaya

Tadi ada yang berkata padaku, kalau Cinta itu duka. Karena jalan yang dipilihnya melalui airmata. Cinta itu duka. Karena saat tawa pun, mengintiplah tangis. Cinta itu duka. Karena dalam candapun ia tetap berselubung nestapa. Hanya menunggu. Hanya waktu yang kelak akan menyingkap selubungnya. Hanya sang kala. Kala. Yang terkadang disebut sebagai pemangsa manusia, yang akrab dengan Sang Durga. Kala, yang namanya pun dekat dengan bencana. Kala, yang meskipun bukan Yamadipati, namun tetap dimungkinkan untuk memangsa ruh manusia. Sebagai tumbal, untuk memperkokoh kerajaannya. Kala.. Semoga bukan Sang Kala yang memisahkan kami. Semoga Cinta selalu merestui kami. Bersama kami. Menjemput kami di ujung perjalanan tanpa airmata yang mengiringi. Semoga kami bukanlah pengulang Ratih dan Kamajaya. Ratih yang menjemput Kamajaya. Ratih yang harus terpisah dari Kamajaya, karena Syiwa. Yang harus patuh, tunduk dan menurut pada takdir. Dengan sembah dan senyum di bibir, meski hati meregang nyawa. Ratih yang mendului Kamajaya. Untuk kemudian bersatu lagi. Bersama lagi, di akhir waktu. Namun seperti karma yang selalu berputar, kali ini Kamajaya mendahului Ratih. Menunggunya di akhir waktu, karena Ratih harus bersama Syiwa. Memenuhi takdir yang tertunda. Menemani Syiwa memerintah Bumi. Untuk sementara. Dan Kamajaya pun harus mengalah, menanti di ujung takdir. Ratih dan Kamajaya, pasangan yang terpisah karena Syiwa. Sedih, duka, airmata..itulah yang dirasakan Ratih. Tawa pun terasa hambar baginya. Namun apadaya, ia harus menjalankan garisnya. Takdirnya sebagai Dewi, meski dengan airmata. Karena airmata itu Cinta. I love you, my love..

Friday, December 17, 2004

Bersimbiosis bersama

Kubenci perasaan gelisah yang menyiksa, kala kujauh dengannya. Perasaan tidak aman saat membiarkannya sendiri, bersama teman-temnnya. Tanpa aku. Dengan wine, arak dan semua minuman itu yang mengalir lancar berminggu-minggu. Mungkin ini refleksi ketidakpercayaanku padanya. Akibat tindakannya di persinggahannya yang lalu. Etape ke dua. Dua pos sebelumku. Padahal dia sangat menyukai tempat itu. Hingga pernah terpikir olehnya untuk mendirikan rumah permanen disana. Persinggahan terakhirnya. Tempatnya menghabiskan hidup hingga tua. Namun badai menghancurkan rumah semi permanen mereka. Badai yang ditaburnya dua kali, dengan nama yang berbeda. Badai pertama bernapaskan api. Sedangkan yang kedua..entahlah. Dua badai yang memporakporandakan tempat bertelaga bening itu. Hancur hingga lebur, tercabut hingga pondasi dan tanahnya. Akhirnya mereka tinggalkan tempat itu dalam keadaan rusak parah. Tanpa ingin dibenahi lagi. Kemudian dia mencoba berdamai, hidup bersama, dengan badai yang kedua. Namun menunggang badai bukanlah hal yang mudah. Karena badai yang liar itu selalu menjarah kemana-mana. Sampai akhirnya dia lelah, letih dan gelisah. Ingin melepaskan diri dari badai tersebut, namun tak tau ia caranya. Saat itulah dia bertemu denganku, di jalan gelap yang berbatu. Saat aku kebingungan mencari jalan pulang, setelah pergi dari rumah yang ingin kutinggali. Sebelumnya. Akupun melangkah di jalan yang gelap sunyi. Meski kubawa pelita, namun dalam kebingunganku, tak tau kemana harus menuju. Saat itulah aku bertemu dengannya. Sesama pengembara yang lelah dan gelisah di kegelapan jalan setapak. Dirindukannya pelitaku, dan ditawarkannya tempat persinggahan bagiku. Maka kami pun berbagi, bersimbiosis bersama. Dalam kelelahan, kebingungan dan kebuntuanku, inilah tempat yang kutunggu. Sampai habis lelahku. setelah itu, mungkin aku meneruskan perjalanan. Atau bila tempat perlindungan ini menawarkan rasa aman, ingin aku bernaung disini selamanya. Menautkan akar dan batang kami. Berokulasi menjadi pohon yang baru. Bersama. Semoga rasa aman itu akan menjadi nyata.

Friday, December 10, 2004

Lara sang Omnivora

Susahnya kalau insting coba-cobaku sedang kumat.. Berhubung sedang dekat dengan orang yang suka makan, akhirnya insting itu tersalur ke makanan deh.. Tadi aku baru mencoba pa pa thang. Sejenis minuman khas china dengan rumput laut, lengkeng kering, biji teratai dan es diatasnya. Rasanya cukup manis, walaupun tidak se-OK yang kubayangkan saat mendengar unsur-unsur penyusunnya. Langsung kutelpon dia untuk laporan. Ini merupakan salah satu hal yang kukangeni dari nggak adanya dia di Bandung. Semangat mencoba kami, yang kadang salah tempat, namun sangat aku nikmati. Jadi ingat terakhir kali makan malam dengannya , di acara launching sebuah merek cigar, di sebuah hotel terkenal Jakarta minggu lalu. Akhirnya setelah berbulan-bulan hanya mendengar namanya, aku merasakan seperti apa foie gras itu. Hati angsa yang melegenda, yang konon sebanding dengan kemasyuran kaviar. Di acara ini aku baru menyadari kekuatan pikiranku. Setelah diguyur beberapa gelas apple martini dan empat jenis wine, aku sedikit pun belum tipsy. Meskipun menumpahkan sedikit wine, karena keleyengan akibat dipotong saat sedang meramal dengan wine. Namun ternyata efek pikian pun ada batasnya. Saat seteguk absinthe itu memasuki rongga perutku, aku merasa ditonjok di ulu hati. Padahal saat ia mengalir ke tenggorokanku, hanya terasa rasa manis yang halus. Minuman halusinogen ini memang tidak main-main. Tak heran van gogh sampai memotong daun telinganya sendiri. Untung, waktu itu aku nggak jackpot! Namun sebagai orang yang suka memaksakan limit diri, aku masih berusaha untuk bernegoisasi dengan perutku untuk mencoba benda-benda aneh yang ada di dunia. Beberapa hari kemudian, bayang-bayang biawak menari di depan mataku. Gimana ya rasanya makan biawak? Akhirnya kupaksalah dua sahabatku untuk menemani ke daerah kota. Agak susah sih untuk mencari tempatnya. Dengan berbekal informasi dari seseorang yang berkantor di daerah situ, dan kabarnya suka makan, kami dapat menemukan tempat itu. Tenda pinggir jalan dengan beberapa kerangkeng yang berisi ular, biawak dan MONYET! Kejam, binatang selucu itu kok ya dimakan?? Akhirnya kami pesan makanan dengan perasaan nggak nyaman, takut kalau sewaktu-waktu binatang-binatang itu dipotong di depan mata kami. Dengan membelakangi kandang-kandang itu, sahabatku memesan abon ular dan aku pun memesan sop biawak. Rasanya kayak ayam sih pada awalnya. Tapi after tastenya agak amis dan bikin perut munyel-munyel. Kayak abis jackpot gitu.. Yeah, curiosity kills the cat indeed. Selagi aku menikmati sebatang rokok penghilang rasa amis itu, tiba-tiba dari arah kandang monyet terdengar bunyi "dukk..." ringan, disertai perkataan "yah..mati." Spontan kami langsung mencelat, meninggalkan uang dan kabur masuk mobil. Jangan-jangan itu suara terbunuhnya monyet kecil itu. Sediih.. Tampaknya aku perlu mempertimbangkan untuk makan ular dan cicak. Nggak kebayang proses pembunuhannya sebelum mereka masuk ke perutku..

Percepatan waktu

Kangen.. Kangen melihat mukanya & badannya yang besar, aromanya, bajunya yang kadang asal, juga kejorokan kamarnya.. Kangen mengelus pipinya, dengan cambang kasar yang baru tumbuh, kalau dia mulai ngeyel dan nggak sabar. Kangen memeluk badannya yang oversize itu. Saat dimana aku merasa begitu kecil dan mungil, kadang sedikit tengil. Kangen dengan kengeyelannya, obrolannya soal makanan. Kangen dengan kemalesannya, yang biasanya suka bikin gregetan, kalo lagi kumat. Kebeteannya menghadapi jalan yang macet. Ke-up tight-annya soal waktu. Semua harus on schedule. Kangen paduan rasa aman dan disayang, kesabarannya sekaligus kegalakkannya yang bisa muncul sewaktu-waktu. Terutama mulut lembutnya yang beraroma cigar itu.. Kangen tubuhnya, rasa aman yang ditimbulkannya saat memelukku sebelum tidur.. Kangen mencium dan mengelusnya.. Kangen.. *** Waktu..ya Waktu, cepatlah berlalu.. Berlarilah bagai angin agar cepat bulan ini berlalu. Putarlah rodanya agar cepat kembali ia padaku. Biarkan benang waktu di roda itu memintal dengan kecepatan mesin di pabrik tekstil. Biar lekas selesai pekerjaannya dan dapat berada bersamaku setiap hari. Lagi. Biasanya aku sangat menghargai proses, yang dipintal oleh waktu. Namun kali ini..berlarilah untukku. Kejarlah dan tarik benang waktunya padaku. Berikanlah ia padaku. Jadikanlah ia milikku, yang legal. Selalu, selamanya.. Dan jadikanlah agar ia bahagia bersamaku. Semoga semua yang terbaik dan terindah datang padanya, karena aku mencintainya.. I miss you, my love..