Tuesday, August 17, 2004

Tikus

Semalam aku liat tikus mati.. Tikusnya kecil, mungil dan mukanya lucu bgt. Warnanya hitam mulus, jadi inget Mickey Mouse. Dia masuk ke kamarku tadi malam. Tante, ade' & mamaku memaksanya lari dan sembunyi di situ, Mungkin dia tau aku nggak bakal menyakitinya. Semua orang nggak ngerti alasanku untuk nggak membunuhnya. Macam-macam alasannya mulai dari pes, tiphus, binatang kotor sampai betapa pintarnya tikus sebagai binatang, lebih dari anjing. Aku masih diam, tapi mulai berpikir gimana kalau sakit. Hari gini kalau sakit kan mahal dan males banget harus stuck di tempat tidur gitu. Akhirnya aku diam, konsentrasi dan mulai bicara dengan dia. Biar dia keluar dari kamarku, sehingga aku nggak sakit. Aku nggak mbunuh dia, tapi nggak sakit.. Begitu pikiranku. Sampai akhirnya dia keluar dari persembunyiannya, dan memandangikuku dengan mukanya yang lucu. Cute banget! Tapi yah, demi alasan kesehatan, kusuruhlah dia keluar. Kuberi dia rute-rute yang tidak membahayakan. Dengan bodohnya kuberitau ade'ku untuk menyingkir, karena tikusnya mau keluar. Bodoh bangeet... Karena Mickey Mouseku jadi dikepung, lari dan lariiii....sampai akhirnya terpojok dan di bunuh! Sakiiit banget rasanya. Kok tega ya orang memunuh binatang selucu itu?? Tadinya aku ingin menjadikannya piaraan. Nggak semua orang lho bisa punya piaraan tikus. Tapi dibunuh.. Samil nangis, aku berpikir kenapa orang tega nyakitin binatang sekecil dan selucu dia. Mungkin karena mereka nggak melihat sisi kelucuannya, mereka cuma dipicu ketakutan mereka akan image di kepala mereka tentang tikus. Kadang kita sering membunuh musuh potensial sebelum itu jadi besar. Mungkin ini dipicu insting kita untuk mempertahankan diri. Padahal belum tentu musuhnya sekuat itu atau semengancam itu. Kita cuma berusaha mempertahankan diri dan mencari pembenaran atas tindakan kita itu. Sepertu yang serung kita lakukan sehari-hari..

Pelita

Dahulu kala manusia merupakan makhluk yang paling dekat dengan-Nya, karena kemampuan-Nya untuk berkomunikasi dengan-Nya. Hal ini diperolehnya berkat sebuah pelita ajaib yang membuatnya mampu berkomunikasi dengan Tuhan. Iblis, yang dalam semua cerita kuno hingga modern, memendam rasa iri pada manusia, berusaha memisahkan manusia dan Pelitanya. Mereka menyembunyikannya di sungai, menenggelamkannya ke palung terdalam, menyimpannya di puncak gunung tertinggi hingga ke gua tersembunyi. Namun manusia selalu dapat menemukannya. Hingga suatu ketika para Iblis mengadakan sidang besar untuk menjauhkan manusia dari Tuhan-Nya. Sidang yang dibuat karena usaha berlarut-larut mereka tidak membuahkan hasil yang nyata. Para menteri, jendral, panglima, penasehat, hulubalang dan serdadu iblis itu memeras kreativitas licik mereka. Mereka pun berdebat, perdebatan panjang yang membuat angin mendengkur karenanya. Hingga, sebentuk iblis kecil memberanikan diri untuk memakai hak suaranya. Dan berkata dengan suara kecilnya, “Yang Mulia semuanya, saya mempunyai usul yang pasti mampu membuat manusia sulit berkomunikasi dengan Tuhan.” Ruangan ramai itupun mendadak hening karena kelancangan iblis kecil ini. Si kecil yang bukan siapa-siapa! Keheningan itu mendadak dipecahkan koor raungan, jeritan, teriakan dan geraman para petinggi yang hadir. Keriuhan yang dipadamkan oleh Sang pemimpin sidang, Iblis Besar bertanduk, yang tingginya mencapai langit dan penyebutan namanya saja mampu membuat penyebutnya menjadi lebih jahat. “Hmm…apa katamu, anak kecil? Usul apa yang kau punya, apakah lebih hebat dari para Yang kejahatan dan kekejamannya telah terbukti ini? Sebutkanlah!” Katanya dengan suara halus. Di dunia iblis, makin tinggi derajat keiblisannya akan makin halus pembawaan mereka, semakin menarik dan bertatakrama, mengecoh pikiran pendengarnya. (Mungkin ini dapat di-analogi-kan dengan perbandingan preman pasar yang petantang-petenteng, dengan mafia yang mengkhususkan dirinya pada kalangan sosial tertentu.) “Saya tidak bisa memberitahukannya, Yang Mulia, saya tidak berani menanggung resiko kebocoran” kata Si kecil takut-takut, “tapi rencana saya ini pasti berhasil, kalau gagal saya berani dihukum untuk tidak berkata kasar dan berbuat jahat seumur hidup saya.” Setelah melalui perdebatan panjang, dengan kata-kata yang tidak etis untuk disebutkan, maka sidang sepakat untuk menyetujui usul Si kecil. Dengan persyaratan yang ia ajukan sebagai jaminannya. Hiks..sungguh syarat kecil, yang sangat berat, menurut mereka. Si kecil pun mulai melaksanakan rencananya. Dan dalam hitungan minggu, manusia mulai terlihat bingung. Ia mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan Tuhan-Nya, Pelitanya menghilang! Ia mencari ke semua sudut alam semesta, namun yang dicarinya tak kunjung ditemukan. Tak terpikir olehnya untuk bertanya pada Si kecil. Si kecil, yang awalnya bukan siapa-siapa, sekarang menjadi Selebriti iblis. Semua Iblis memandangnya takjub, bahkan para vampire cantik seksi yang digandrunginya habis-habisan pun mulai tersenyum padanya. Kehebohan ini menimbulkan iri hati di kalangan Iblis terkemuka lainnya. Hingga digelarlah sidang berikutnya. Setelah mengucapkan selamat pada Si kecil, Iblis Besar pun masuk ke topik utama sidang. Apa yang dilakukan Kecil hingga manusia kehilangan Pelitanya? Mulanya Si kecil mengajukan keberatannya, hingga emosinya sebagai selebriti baru memuncak, dan membuatnya menyebutkan tempatnya menyembunyikan Pelita itu. Pelita yang disembunyikannya di dalam diri manusia sendiri, “Ia pasti tidak akan pernah menemukannya di gunung, lembah, sungai, dasar samudra atau pelosok jagat raya manapun. Ia selalu mencarinya di luar dirinya, adalah suatu pencarian yang sia-sia semata untuknya, karenanya tidaklah pernah ia akan menemukannya.” tegas Selebriti baru ini dengan sombongnya. Akhirnya sidang pun ditutup dengan janji tidak akan membocorkan rahasia tersebut pada makhluk di luar sidang. Tapi..suatu ketika manusia mengetahui rahasia ini. Dan mulailah ia mencarinya ke dalam dirinya. Pencarian yang lama, walau tak dapat dikatakan sia-sia.

Cinta

Cinta itu sebenarnya benda apa? Yang bisa membuat langit merendah dan bumi membelah. Yang bisa mendamaikan dan memecah jagat raya. Cinta itu sebenarnya makhluk apa? Menyusup ke dalam sanubari yang terdalam, seperti mikro organisme yang masuk dan membelah diri di dalam tubuhku, hingga aku tak punya daya untuk melawannya. Cinta itu sebenarnya rasa apa? Yang bisa membuat masakan menjadi lezat atau malah cemplang sama sekali. Cinta itu sebenarnya penyakit apa? Mengapa tubuhku tak punya daya untuk melawannya? Berjalan sendiri mengikuti takdir. Mungkin harus begini. Atau seharusnya tidak begini? Terus terang aku nggak tau, dan nggak mau tau. Hanya ngeli, mengikuti arus kata hati. Yang nyaris padam, megap-megap melawan kejamnya logika. Sakit, sedih, ngilu dan perih. Namun apa daya, aku hanya mengikuti kata hati, yang arusnya tak sanggup kulawan, walau kucoba untuk menghindar. Kendati telah kucoba jalan ekstrem, membohongi perasaanku dan diriku sendiri. Pathaetic. Mengganti gambarnya di sudut hatiku dengan gambar lain, yang mungkin akan lebih bisa diterima dunia. Aku telah mencoba, namun apa daya aku tak kuasa menghapus bayangannya di sudut hatiku, menghantuiku bagai para hantu malam yang dengan rajinnya datang berkunjung mengisi daftar hadir mereka. Aku sudah mencoba. Jangan pernah berkata bahwa aku tidak berupaya. Aku telah mencoba. Namun tak kuasa. Dulu pernah ada yang bercerita, bahwa cinta adalah perwujudan cahaya Ilahi yang tercermin dalam jiwa manusia. Karenanya kita selalu meresa hancur bila tidak dicintai. Bersyukurlah pada Cinta dan alam semesta, bila masih ada yang mencintaimu dan mengatakan padamu bahwa kau berarti untuknya. Walau itu tidak datang dari orang yang kau cinta. Mungkin itulah perwujudan cinta Tuhan dan alam semesta padamu. Sapaan Namaste bagimu. Namaste, Aku mencintai Tuhan dalam diriMu. Pada dasarnya, kita hanyalah ciptaan kecil-Nya, perwujudan diri-nya, Sang Maha Sempurna. Lama sekali aku mencari-Nya, di kuil-kuil, altar, maupun mimbar. Di semua tempat manusia mumpuni yang dikenal mengenal-Nya. Di banyak petilasan orang baik, yang mengenal-Nya. Aku pun mengenal banyak aliran dan sebutan untuk-Nya, maupun para pengusung panji-Nya. Aku mencintai semua-Nya. Dari banyak sudut dunia. Dari Parsi hingga India, dari Mekkah hingga Jerusalem. Aku mencintai semuanya, para messiah-avatar-nabi dan rasul, semuanya. Semuanya kecintaanku. Malaikat yang berdiam di lapisan langit pertama, kedua dan seterusnya. Yang bersayap dua, tiga, empat atau yang menampakkan wajahnya di depanku tanpa sayap. Dari malaikat yang kukenal sampai yang tidak kukenal. Namaste. Namaste. Namaste. Pernah dalam pencarianku pada-Nya, aku mencari-Nya di semua tempat dan makhluk-Nya. Dan aku mencintai semuanya. Aku mencintai mereka sebagai perwujudan Cintaku pada-Nya. Lama, hingga kudengar sebuah cerita. Dari India. Tentang manusia yang mencari Tuhannya. Dan dia tak pernah menemukannya karena matanya tak pernah melihat ke dalam dirinya. Pencarian yang lama, walau tak dapat dikatakan sia-sia. Sejak itulah aku mencari Tuhan dalam diriku, tak lagi melihatnya sebagai cahaya menyilaukan di luar diriku. Dia ada di dalam diriku dan mengerti Aku. Dan mengenalku lebih dari apapun dan siapapun. Cintaku yang tidak pernah mencelaku ataupun membiarkanku sendirian. Karena Ia selalu bersamaku dan mencintaiKu. Saat ini. Selamanya. Saat itulah aku merasa menemukan. Cinta.

Amritha

Rasanya sedih sekali hari ini, tanpa tau kenapa.. Serasa ada suatu kebutuhan untuk menjeritkan tangis yang terkubur dalam. Lara di dalam dada, menyelip diantara kulit dan jantungku, tanpa tau kenapa alasan di balik semua tanya. Terasa lara, jeritan mohon pertolongan yang menyakitiku walau tanpa suara. Seakan ada tangan kejam yang menyayat bagian tengah dadaku secara horizontal. Setipis sashimi, tipis dan rapih. Dan membiarkan sisa dagingnya di tempat semula, tanpa menggesernya dari tempat yang semestinya. Namun bekas itu ada. Setipis irisan sashimi. Sedih, ngilu, sakit.. Mungkin aku yang salah, yang menguburnya sehingga menjadi tangisan dalam yang terpendam. Yang kumulatif. Yang diam tapi meroyak dari dalam. Tapi apa sebenarnya air mata, mutiara para dewa.. yang dengannya langit terguncang dan bumi merintih. Yang dengannya laut pun terbelah dan gurun pun bergolak. Yang dengannya semua yang paling musykil pun menjadi nyata. Dari pengecilan rahim dan disfungsi ereksi, hingga luruhnya janin dalam perut yang telah menggembung besar. Itulah air mata, panggilan bagi para dewa, lebih kuat dari persembahan ritual yang paling tua. Air mata. Pujaan para dewa. Jeritan kaum Hawa. Pernah kudengar, bahwa mutira berasal dari air mata seekor naga, yang teraniaya, tersiksa. Dan mengadukan nasibnya. Pada Tuhannya. Dan dalam cerita lain, mutiara itu berasal dari air mata seorang dewi yang merana karena cinta. Dan jadilah mutiara. Amritha. Air mata. Selalu air mata. Yang dapat menggoyahan suatu kaum, suatu bangsa. Meski yang paling perkasa, yang pernah menjejakkan kakinya di dunia. Hanya air mata, tangisan tulus yang mampu menyelamatkanmu dari setan yang paling kejam. Yang mampu menyelamatkanmu dari petaka, dan jurang penderitaan. Kesedihan dan penderitaan yang paling dalam sekalipun, pupus oleh air mata. Selesai. Tamat. Finish. The End. Akhir dari semuanya. Selesai dengan air mata. Pujian bagi Sang Pencipta. Air mata. Pelepasan para pencinta. Air mata.. Air mata..