Monday, May 16, 2005

Mengembun, menjadi air

Kadang ada baiknya untuk menahan diri dan mengembunkannya sejenak. Agar menjadi lebih sejuk saat mengalir ke tenggorokan. Namun terkadang saat mengembun dia dapat menjadi basi. Seperti teh. Kadang ada baiknya kita memanaskannya agar menghilang dari penglihatan kita, meskipun pada kenyataannya dia hanya mengambil bentuk lain dari zat, menjadi uap. Namun dengannya kita dapat menghilangkannya dari pandangan, beristirahat sejenak dari masalah itu, untuk kemudian melupakan. Bersama berjalannya waktu. Melupakan atau mungkin mengalihkan. Karena pada kenyataannya ia hanya beringsut dari depan kita, mengambil bentuk lain dari air. Meski pada kenyataannya ia tetaplah air, yang kemudian berjalan ke proses selanjutnya. Menjadi awan mendung. Untuk selanjutnya mengalir ke bumi sebagai hujan. Yang deras, membadai, menghalau semua yang menghalangi jalannya. Menghanyutkan apapun yang dilaluinya saat ia membanjir di bumi. Di selokan, sungai, jalan dan lembah. Dan kadang menyeret manusia-manusia yang tak berdosa di dalamnya. Karena itulah aku lebih suka mengembun, mengendapkan masalah sejenak. Mendinginkannya dengan udara subuh. Karena saat ia kupanaskan, aku tak sanggup menahan amukannya saat membadai. Air. Yang diam, tenang, tapi membadai dan menghanyutkan rumah tempat berlindung. Maupun tanah tempat berpijak. Itulah air, yang dapat menempatkan diri, menyesuaikan bentuk sebagaimana tempatnya. Namun membasah, mencari korban, saat tumpah. Air yang tenang, tapi dapat membahayakan. Menelan korban, manusia atau sejenisnya. Air.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home